TUBERKULOSIS DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular utama di Indonesia. TB merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). TB yang umum kita kenal di masyarakat adalah TB paru, yang dapat dengan mudah tertular melalui udara contohnya saat seseorang batuk atau berbicara. Meski begitu bakteri M. tuberculosis juga dapat menyerang bagian tubuh selain paru-paru, yang dikenal dengan TB ekstra-paru. Namun penyakit ini tidak menular. 

TB merupakan penyakit menular nomor 1 yang mematikan di dunia, sekaligus termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia pada tahun 2018. Pada tahun tersebut, terdapat kurang lebih 10 juta kasus TB di seluruh dunia dengan 9% diantaranya adalah penderita HIV. Indonesia adalah negara ketiga dengan kasus terbesar di dunia setelah India dan China. Melansir dari data World Bank dan WHO, terdapat 1,020,000 insiden (kasus baru) di tahun 2017, dengan laju insidensi sebesar 391 dalam 100,000 orang. 

Ada bahasan menarik terkait sejarah bakteri dan penyakit mematikan ini. TB diduga sebagai salah satu penyakit tertua di dunia. Hal ini dilihat dari temuan bakteri M. Tuberculosis pada fosil tulang di beberapa negara seperti di Italia, Denmark, dan Mesir yang berusia hingga 4000 tahun yang lalu. Terdapat pula deskripsi kesehatan dari abad ke-5 dan ke-7 sebelum Masehi yang mencatat ada pasien yang menderita gejala-gejala TB seperti batuk berdarah dan nyeri dada. Bakteri M. Tuberculosis pada manusia diduga merupakan evolusi dari salah satu anggota keluarga M. Tuberculosis complex yang awalnya berhabitat di tanah dan berinang di hewan ternak. Dari sinilah ia kemudian berevolusi dan berpindah inang ke manusia menjadi bakteri M. Tuberculosis yang dikenal dunia saat ini. Menariknya, kematian akibat penyakit TB semakin berkurang seiring dengan membaiknya sanitasi dan sistem pengaturan perumahan, seperti yang terjadi pada setengah terakhir abad ke-19 di urban renewal of Paris tahun 1850. Angka kesakitan dan kematian TB semakin berkurang di abad ke-20 setelah mulai ditemukannya vaksin BCG, didukung dengan semakin membaiknya praktik kesehatan masyarakat serta perkembangan antibiotik. Meski bergitu bakteri TB terus berkembang dan bervariasi hingga saat ini, dan masih dibutuhkan berbagai penelitian dan pengembangan obat serta vaksin termutakhir untuk pengendalian dan penyembuhan TB. Hal ini pula yang menjadi salah satu perhatian utama dalam kampanye Hari TB sedunia atau World TB Day tanggal 24 Maret lalu, dengan slogan The Clock is Ticking untuk mengingatkan masyarakat serta dunia ristek kesehatan untuk semakin bergegas dalam penelitian medis termasuk teknologi diagnostik, obat, dan vaksin, guna mencapai target pengurangan kasus TB di tahun 2022 dan mengakhiri epidemik TB di tahun 2030. 

Dari sejarah di atas, kita dapat melihat bahwa ada keterkaitan antara kualitas kebersihan kehidupan manusia dengan angka kesakitan dan kematian penyakit TB. Di Indonesia sendiri terdapat istilah STBM. Dikutip dari laman kementerian kesehatan RI, STBM atau Sanitasi Total Berbasis Masyarakat merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Komponen dan target dari program ini adalah agar masyarakat mampu memiliki dan mengelola fasilitas sanitasi dan kebersihan yang sehat, seperti fasilitas BAB yang baik, fasilitas cuci tangan, pengelolaan air, makanan, dan minuman, sampai pengelolaan sampah dan limbah cair rumah tangga yang benar. STBM juga merupakan salah satu program pembangunan masyarakat di bidang kesehatan dalam program Kampoeng Sinergi oleh Synersia.

Lantas apakah dengan usaha memperbaiki sanitasi dan kesehatan lingkungan benar-benar dapat berdampak mengurangi angka kejadian TB? Kabar baiknya, di Indonesia sudah banyak pula penelitian yang mengupas tentang efektifitas usaha perbaikan STBM terhadap angka kesakitan dan kematian TB. Penelitian di Aceh, Jawa Tengah, dan Lampung, masing-masing mengungkapkan adanya hubungan antara ventilasi udara, pencahayaan, kelembaban, kepadatan penduduk, sistem pelantaian rumah, penyakit bawaan, dan sistem dapur dengan angka kejadian TB. Ventilasi dan pencahayaan yang cukup, kelembaban yang tidak terlalu tinggi, kejarangan penduduk dalam satu luas daerah, serta terpasangnya lapisan lantai yang bersih berpotensi untuk menurunkan insidensi atau angka kasus TB. Adanya penyakit bawaan seperti diabetes mellitus, hepatitis, dan HIV yang juga berkaitan dengan gaya hidup sehat, dapat meningkatkan risiko kasus TB laten dan TB-ekstra paru (khususnya pada penderita HIV). Cara memasak tradisional menggunakan kayu bakar juga disinyalir dapat meningkatkan risiko TB di Jawa Tengah. Faktor-faktor risiko terkait kebersihan ini dapat dicegah dengan penerapan STBM. Penelitian secara mikrobiologi juga mengungkapkan bahwa status gizi dan imun pasien yang lemah dapat meningkatkan risiko infeksi TB, seperti halnya pada kasus TB Laten (tersembunyi) yang hanya akan menjadi TB aktif jika sistem imun pasien melemah. Oleh karenanya kebersihan dan kesehatan sumber makanan pun penting untuk pencegahan dan pengurangan kasus TB. Lebih luas lagi, penelitian di Lampung mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi dan status pendidikan berpengaruh pula pada penularan TB. Kondisi ekonomi dan status pendidikan yang rendah berperan mempengaruhi faktor-faktor kelayakan dan kebersihan tempat tinggal yang telah disebutkan sebelumnya. Masyarakat yang memiliki pendidikan dan pendapatan rendah cenderung hidup di daerah padat penduduk dan minim ventilasi udara. Oleh karenanya, program pengendalian TB sangat dianjurkan jika berintegrasi dengan program perbaikan faktor-faktor sosial seperti pendidikan dan tata kota. Hal ini sudah dilakukan dan terbukti berdaya dampak di kota Lima, Peru. Usaha-usaha ini tentu membutuhkan keterlibatan tidak hanya dari lembaga kesehatan, tapi juga lembaga atau institusi di bidang lainnya seperti sosial, ekonomi, dan pendidikan. 

We are on our way; kita semua sedang dalam perjalanan menuju target. Menurut WHO, pengobatan TB sejak tahun 2000-2018 telah menyelamatkan 58 juta nyawa di seluruh dunia, dengan angka kematian turun sebesar 38% di 2018. Indonesia sendiri mengalami penurunan laju angka kejadian dari 391 ke 312 per 100,000 orang dari tahun 2017 ke tahun 2019. Laju deteksi kasus TB naik sekitar 60,000 dari 2016 ke 2017, dan telah mencapai angka 67% di tahun 2019. 

Indonesia, dalam rencana strategis nasional (National Strategic Plan) pemberantasan TB, memiliki poin rencana untuk mengendalikan faktor-faktor risiko, meningkatkan kerjasama melalui koordinasi forum, serta melibatkan komunitas masyarakat dalam usaha pengendalian TB. Synersia, melalui program Kampoeng Sinergi, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan dengan melibatkan kolaborasi seluruh komponen masyarakat, khususnya di daerah rawan kemiskinan. Program ini meliputi pengembangan multisektor seperti sosial, pendidikan, ekonomi, lingkungan dan kesehatan, yang termasuk usaha STBM di dalamnya. Dengan adanya integrasi multisektor tersebut, muncul harapan besar agar Kampoeng Sinergi dapat turut aktif membantu rencana Indonesia dan dunia dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian TB, yang berkaitan erat dengan sanitasi dan kesehatan yang baik. 

***

Sumber:

http://stbm.kemkes.go.id/app/about/1/about

http://synersia.org/program/kampoeng-sinergi/

https://www.triagetb.com/news/who-publishes-report-on-the-progress-towards-global-tb-targets

http://www.stoptb.org/news/stories/2021/ns21_006.html

https://data.worldbank.org/indicator/SH.TBS.INCD?locations=ID

https://www.who.int/tb/features_archive/indonesia_11apr18.pdf?ua=1#:~:text=Annual%20TB%20incidence%20in%20Indonesia,is%20391%20per%20100%2C000%20population.

WHO, 2019. Global Tuberculosis Report 2019.

Aditama, W., Sitepu, F. Y., & Saputra, R. (2019). Relationship between Physical Condition of House Environment and the Incidence of Pulmonary Tuberculosis, Aceh, Indonesia. Int J Sci Healthc Res, 4(1), 227-231.

Melsew YA, Doan TN, Gambhir M, Cheng AC, McBryde E, Trauer JM (2018). Risk factors for infectiousness of patients with tuberculosis: a systematic review and meta-analysis. Epidemiology and Infection 146, 345–353. https://doi.org/10.1017/S0950268817003041

Xu Qian, Duc T. Nguyen, Jianxin Lyu, Andreas E. Albers, Xiaohong Bi & Edward A. Graviss (2018) Risk factors for extrapulmonary dissemination of tuberculosis and associated mortality during treatment for extrapulmonary tuberculosis, Emerging Microbes & Infections, 7:1, 1-14, DOI: 10.1038/s41426-018-0106-1

Erawati, M., & Andriany, M. (2020). The prevalence and demographic risk factors for latent tuberculosis infection (LTBI) among healthcare workers in Semarang, Indonesia. Journal of multidisciplinary healthcare, 13, 197.

Smith, I. (2003). Mycobacterium tuberculosis pathogenesis and molecular determinants of virulence. Clinical microbiology reviews, 16(3), 463-496. https://cmr.asm.org/content/16/3/463

Pratiwi, R. D., Pramono, D., & Junaedi, J. (2020). Socio-Economic and Environmental Risk Factors of Tuberculosis in Wonosobo, Central Java, Indonesia. KEMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 16(1), 61-70.

Wardani, D. W. S. R., & Wahono, E. P. (2018). Prediction model of tuberculosis transmission based on its risk factors and socioeconomic position in Indonesia. Indian journal of community medicine: official publication of Indian Association of Preventive & Social Medicine, 43(3), 204.